Media sosial belakangan ini, apalagi sosmed yang sifatnya short videos ramai dengan postingan “POV: Ketika Gen Z Menguasai Dunia” yang akhirnya menjadi trend tersendiri. Postingan-postingan tersebut menunjukkan sebuah peristiwa atau kejadian ketika generasi millenial dan generasi baby boomers sudah pensiun dan menikmati masa tuanya, lalu semua lini (terutama di lingkungan pekerjaan) digantikan oleh generasi Z.
Fenomena tersebut disambut riang gembira oleh semua kalangan dikarenakan vibes tren tersebut sangat unik, lucu, dan menggemaskan tentunya. Bagaimana tidak se-positive-vibes begitu, gen z yang menggantikan posisi generasi millenial secara otomatis menghadapi generasi alpha yang mungil dan lugu. Contoh kasus saja di salah satu video pendek yang menunjukkan generasi z menjadi guru di sekolah dasar mendapatkan laporan dari siswanya jika dia diganggu oleh temannya. Respon dari si guru tersebut malah menyuruh siswanya balas dendam.
Ada juga sebuah video gen z yang menjadi karyawan resto mendapatkan komplain bahwa harganya sangat mahal. Respon dari karyawan tersebut malah mengusir konsumennya pergi, (“Yaudah ege, pergi aja. Lagian ga ada yang maksa belanja di sini”). Di sisi lain, ada video gen z yang menjadi akuntan sedang menghitung dan angkanya tidak balance. Pikir dari akuntan tersebut malah mau nombok kekurangannya biar jadi balance (“Yaelah, ga balance cuma kurang 2.000 doang. Apa gue talangi aja ya? Cape ngitung ulang lagi”). Dan masih banyak video lainnya.
Contoh kasus-kasus di atas kurang lebih sama dengan intuitive thought gen z ketika sedang dalam pekerjaan. Dalam hal ini, semua orang sebenarnya berpikiran yang sama namun yang membedakan gen z dengan lainnya dan menjadikan hal itu sebuah bahan tertawan ialah dari cara penyampaiannya yang begitu ekspresif.
Tak rasa, semua keluguan, ekspresifitas, dan kelucuan gen z ini berawal dari digital. Gen z disebut sebagai generasi melek digital dikarenakan keadaan kelahiran gen z tak jauh dari era industry 4.0, sebuah kondisi transformasi digital. Fenomena tersebut akhirnya membuat gen z berperilaku dan berkomunikasi sehari-hari hampir sama dengan yang ada di dunia maya. Contoh saja komunikasi daring, melalui direct message ataupun chat.
Komunikasi daring kita istilahkan saja sebagai komunikasi interverbal karena terdapat sebuah komunikasi verbal melalui tulisan dan terdapat komunikasi non-verbal melalui emoticon yang terjadi secara bersamaan. Jadi, hal yang mendukung gen z dalam berekspresi, berperilaku sehari-hari, dan berkomunikasi tak luput dari gaya dan ekspresi emoticon yang sering dipakai saat komunikasi daring atau komunikasi interverbal.
Pada intinya, gen z yang melek digital akan berperilaku tak jauh beda dengan apa yang ada di dunia maya. Hal tersebut menyebabkan pergeseran persepsi soal emosi-emosi yang sudah menjadi relatif dan tak mempunyai standarisasi sendiri. Olehnya, ketika gen z marah, itu kelihatannya sangat menggemaskan dan tak menakutkan sama sekali karena karakter emoticon yang ada di dunia digital terbawa ke dunia nyata sehingga hal tersebut menjadi unik.