Ada apa dengan Papua?
Beberapa hari terakhir ini, terdapat tagar genosida di Papua (#genosidadipapua) menjadi trending di aplikasi X (Twitter). Hal yang mengindikasikan bahwa Papua sedang tidak baik-baik saja ialah dikarenakan tagar tersebut trending di tengah hiruk-pikuk obrolan soal selebritis Indonesia. Papua, selama ini menjadi daerah konflik sejak bergabungnya dengan Indonesia di tahun 1969. Ketegangan konflik tersebut bukan semata karena Papua ingin merdeka, melainkan masalah-masalah seperti eksploitasi SDA oleh pemerintah Indonesia menjadikan suatu kemuakan pribumi Papua sendiri.
Dilansir dari suarapapua.com, pada tanggal 30 Agustus 2024, mahasiswa yang tergabung dalam Front Pelajar dan Mahasiswa Peduli HAM dan Demokrasi melaporkan adanya genosida, ekosida, dan etnosida yang terjadi di Papua ke kantor perwakilan PBB di Jakarta. Niko Zol sebagai mahasiswa Papua menjelaskan bahwa laporan tersebut bertujuan untuk menghentikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada Papua selama 64 tahun.
Merilis dari BBC News Indonesia, data hasil riset di Australian National University yang dipublikasi dalam buku berjudul Torture and Peace-building in Indonesia: The Case of Papua menunjukkan, dari setidaknya 431 kasus penyiksaan oleh aparat pada periode 1963-2010 di Papua, hanya dua yang dilakukan terhadap milisi pro-kemerdekaan. Sisanya merupakan penyiksaan terhadap warga sipil—nonkombatan alias orang-orang yang tidak mengangkat senjata.
Lalu bagaimana di sepanjang tahu 2010-2024? Dirilis oleh Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, sepanjang tahun 2010-2022 tercatat sedikitnya 2118 korban jiwa dengan jumlah 1654 jiwa mengalami luka dan 464 meninggal dunia. Lalu di tahun 2023, kompas mencatat ada 79 orang meninggal dunia dengan rincian 37 warga sipil, 23 anggota TNI-Polri, dan 19 orang anggota KKB. Sedangkan di tahun 2024, kontraS update menerangkan bahwa dalam kurun Januari – Maret 2024, terdapat 13 peristiwa kekerasan kepada warga sipil yang tersebar di 3 Provinsi di Papua.
Basis militer dan pertahanan Indonesia di Papua juga tertulis dan tercatat sebagai indikator yang semakin memperkeruh keadaan daerah konflik tersebut. Dalam catatan Marthen Goo, aktivis HAM Papua di Jakarta mengindikasikan bahwa militer Indonesia membangun camp pertahanan di wilayah masyarakat sipil Papua, beroperasi militer di wilayah warga sipil Papua, melakukan penembakan dari helikopter ke hunian warga sipil Papua dengan alasan mengejar Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), dan memakai gedung sekolah dan rumah sakit (Puskesmas) sebagai tempat persembunyian dan basis pertahanan militer Indonesia.
Satu hal yang harus kita yakini dari fenomena konflik di Papua, terlepas dari geopolitik nasional dan internasional, ketika negara memang tidak ingin jatuh banyak korban, maka negara akan melepaskan Papua atas kemerdekaannya sendiri. Namun kenyataannya, negara memilih menjatuhkan korban jiwa secara berlanjut atas dasar ‘persatuan’, padahal negara hanya melirik Sumber Daya Alam Papua yang sering kali negara salahgunakan.
Anak-anak kecil di Papua sana yang seharusnya bermain kelereng dan layangan serta belajar di sekolah dengan nyaman harus bersembunyi dari gencatan senjata pemerintah yang katanya mengejar TPNPB. Ibu-ibu yang sedang hamil di Papua sana yang seharusnya merasakan apa itu ‘ngidam’ menjadi tak selera karena mendengar letupan mesiu. Bapak-bapak di Papua sana yang seharusnya mencari nafkah keluarga berujung ikut menjadi korban kesalahan sasaran. Kakek dan nenek di Papua sana yang seharusnya menikmati masa tua harus menghindari lesatan peluru.
“Papua adalah kita. Kita adalah Papua. Artinya, kita tak harus menjadi polisi yang katanya mengayomi masyarakat, kita juga tak harus TNI yang katanya menjaga kemaslahatan, kita cukup jadi manusia sudah cukup melirik saudara kita di Papua.”